Kamis, 16 Maret 2017

PENJABARAN TENTANG BID'AH

Assalamualaikum. Wr.wb.

saya menyaksikan acara televisi yang salah satu poin bahasannya adalah.

"Tidak semua bid‘ah itu dhalalah (sesat)."

Saya mau meminta penjelasan lebih lanjut perihal kriteria seseorang boleh membuat bid'ah hasanah dan bid'ah Dholalah . Berikutnya saya mohon diberikan contoh yang termasuk bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah (dholalah).
Atas penjelasannya dan pencerahannya  Kulo ucapken Terima kasih.





Menu makan Malam
Pukul 20.00-22.00  WIB
Rabu,15 Maret 2017
(DASI)


CAK MOET


Makna "Kullu Bid'ah Dholalah"

Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup.Karena Allah juga berfirman  menceritakan tentang penciptaan  jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii
min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas,  ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah  (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz,  ruku`,  maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT,  yang contohnya :

1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.

2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.

3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah),  padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).



Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya:

"Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik."

Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.

Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.

Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.

Contoh  mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi saw. : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.

Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.

Nabi saw. dan para ulama salaf,  juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.

Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
         

Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.

Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf manapun. Namun  karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.


 مختصر رسالة أهل السنة والجماعة لحضرة الشيخ محمد هاشم أشعري

١- السنة شرعا اسم للطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول الله صلى الله عليه وسلم أو غيره ممن هو علم في الدين كالصحابة رضي الله عنهم ، لقوله صلى الله عليه وسلم : عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي.

٢- والبدعة شرعا إحداث أمر في الدين يشبه أن يكون منه وليس منه . لقوله صلى الله عليه وسلم : من أحدث من أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد . وقوله صلى الله عليه وسلم : وكل محدثة بدعة أي تغيير الحكم باعتقاد ما ليس بقربة قربة لا مطلق الإحداث.

٣- والموازن فيها ثلاثة (١) إن كان للأمر المحدث شاهد من معظم الشريعة فليس بدعة (٢) اعتبار قواعد الأئمة وسلف الأمة العالمين بطريق السنة ، فما خالفها بكل وجه فلا عبرة له وما وافق أصولهم فهو حق (٣) ميزان التمييز بشواهد الأحكام.

Neng Khasna:

فما رآه المؤمنون حسنا فهو عند الله حسن
Maka apapun yg dipandang oleh org mukmin sebagai perbuatan baik maka baik pula disisi Alloh

لاتجتمع أمتي على الضلالة
 Tidak mungkin umatku sepakat pada suatu yg sesat

Hadis d atas para ulama mengganggap bahwa ketika bid'ah d anggap baik oleh org muslim maka tdk sesag bahkan mendapat pahala.

Buku
عبارة مهمه

 Kang Mathori:

kita mencoba melihat hadits-hadits Rasulullah SAW yang berkaitan dengan bid‘ah. Kita akan mengawalinya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai berikut ini.

ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻓِﻲ ﺧُﻄْﺒَﺘِﻪِ : ﻳَﺤْﻤَﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻳُﺜْﻨِﻲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﺃَﻫْﻠُﻪُ، ﺛُﻢَّ ﻳَﻘُﻮﻝُ : ‏« ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﻠَﺎ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻠْﻪُ ﻓَﻠَﺎ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ، ﺇِﻥَّ ﺃَﺻْﺪَﻕَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦَ ﺍﻟْﻬَﺪْﻱِ ﻫَﺪْﻱُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﻭَﺷَﺮُّ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞُّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٌ، ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ » ،

Artinya, “Dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW dalam khothbahnya bertahmid dan memuji Allah SWT. Lalu Rasulullah SAW berkata, ‘Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang Allah sesatkan jalan hidupnya, maka tiada yang bisa menunjuki orang tersebut ke jalan yang benar. Sungguh, kalimat yang paling benar adalah kitab suci. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW. seburuk-buruknya perkara itu adalah perkara yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah itu sesat. Setiap kesesatan membimbing orang ke neraka,’” (Lihat Ahmad bin Syu‘aib bin Ali Al-Khurasani, Sunan An-Nasai , Maktab Al-Mathbu‘at Al-Islamiyah, Aleppo, Cetakan Kedua, tahun 1986 M/ 1406 H).

Untuk memahami hadits riwayat An-Nasai, kita perlu menyandingkannya dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan di Shahih Bukhari sebagai berikut.

ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : " ﻭﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ " ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺎﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﻪ ﺍﻟﺨﺎﺹ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﻗﻮﻟﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟﻤﺨﺮﺝ ﻓﻲ " ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ :" " ﻣﻦ ﺃﺣﺪﺙ ﻓﻲ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ ." ﻭﻗﺪ ﺛﺒﺖ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻗﻮﻟﻪ : ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﺎﺕ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺿﺮﺑﺎﻥ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﻣﺎ ﺃﺣﺪﺙ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻛﺘﺎﺑﺎً ﺃﻭ ﺳﻨﺔ ﺃﻭ ﺃﺛﺮﺍً ﺃﻭ ﺇﺟﻤﺎﻋﺎً، ﻓﻬﺬﻩ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺍﻟﻀﻼﻟﺔ . ﻭﻣﺎ ﺃﺣﺪﺙ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻻ ﺧﻼﻑ ﻓﻴﻪ ﻟﻮﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ، ﻓﻬﺬﻩ ﻣﺤﺪﺛﺔ ﻏﻴﺮ ﻣﺬﻣﻮﻣﺔ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻓﻲ " ﺍﻟﻤﺪﺧﻞ ".

Artinya, “Ucapan Rasulullah SAW ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus seperti keterangan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ‘Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak’. Riwayat kuat menyebutkan Imam Syafi’i berkata, ‘Perkara yang diada-adakan terbagi dua. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bid‘ah sesat. Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah bid‘ah yang tidak tercela,’” (Lihat Al-Baihaqi dalam
Al-Madkhal , Halaman 206).

Imam Syafi’i dalam keterangan di atas jelas membuat polarisasi antara bid‘ah yang tercela menurut syara’ dan bid‘ah yang tidak masuk kategori sesat. Pandangan Imam Syafi’i kemudian dipertegas oleh ulama Madzhab Hanbali, Ibnu Rajab Al-Hanbali sebagai berikut.

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺭﺟﺐ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ : ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩُ ﺑﺎﻟﺒﺪﻋﺔ : ﻣﺎ ﺃﺣﺪﺙ ﻣﻤﺎ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻳَﺪُﻝ ﻋﻠﻴﻪ، ﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺃﺻﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻠﻴﺲ ﺑﺒﺪﻋﺔ ﺷﺮﻋﺎً، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﻟﻐﺔ .

Artinya, “Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, ‘Yang dimaksud bid‘ah sesat itu adalah perkara baru yang tidak ada sumber syariah sebagai dalilnya. Sedangkan perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai dalilnya, tidak termasuk kategori bid‘ah menurut syara’/agama meskipun masuk kategori bid‘ah menurut bahasa,’” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali pada Syarah Shahih Bukhari).

Perihal hadits Rasulullah SAW itu, Guru Besar Hadits dan Ulumul Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syekh Mushtofa Diyeb Al-Bugha membuat catatan singkat berikut ini.

( ﺃﺣﺪﺙ ‏) ﺍﺧﺘﺮﻉ . ‏( ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻫﺬﺍ ‏) ﺩﻳﻨﻨﺎ ﻫﺬﺍ ﻭﻫﻮ ﺍﻹﺳﻼﻡ . ‏( ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ‏) ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﻮﺟﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺃﻭ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻻ ﻳﻨﺪﺭﺝ ﺗﺤﺖ ﺣﻜﻢ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺃﻭ ﻳﺘﻌﺎﺭﺽ ﻣﻊ ﺃﺣﻜﺎﻣﻬﺎ ﻭﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺴﺦ ‏( ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ‏) . ‏( ﺭﺩ ‏) ﺑﺎﻃﻞ ﻭﻣﺮﺩﻭﺩ ﻻ ﻳﻌﺘﺪ ﺑﻪ ]

Artinya, “Siapa saja yang mengada-ada (membuat hal baru) di dalam urusan (agama) kami (agama Islam) yang bukan bersumber darinya (tidak terdapat dalam Al-Quran atau sunah, tidak berlindung di bawah payung hukum keduanya atau bertolak belakang dengan hukumnya), maka tertolak (batil, ditolak, tidak diperhitungkan),’ (Lihat Ta’liq Syekh Mushtofa Diyeb Al-Bugha pada Jamius Shahih Al-Bukhari, Daru Tauqin Najah, Cetakan Pertama 1422 H, Juz IX).

Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama madzhab Syafi’i abad 7 H kemudian membuat rincian lebih detail perihal bid‘ah beserta contohnya seperti keterangan sebagai berikut.

ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻓِﻌْﻞُ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻬَﺪْ ﻓِﻲ ﻋَﺼْﺮِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ .- ﻭَﻫِﻲَ ﻣُﻨْﻘَﺴِﻤَﺔٌ ﺇﻟَﻰ : ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﻭَﺍﺟِﺒَﺔٍ، ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﻣُﺤَﺮَّﻣَﺔٍ، ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﻣَﻨْﺪُﻭﺑَﺔٍ، ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﻣَﻜْﺮُﻭﻫَﺔٍ، ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﻣُﺒَﺎﺣَﺔٍ، ﻭَﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖُ ﻓِﻲ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﻥْ ﺗُﻌْﺮَﺽَ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳﻌَﺔِ : ﻓَﺈِﻥْ ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻓِﻲ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟْﺈِﻳﺠَﺎﺏِ ﻓَﻬِﻲَ ﻭَﺍﺟِﺒَﺔٌ، ﻭَﺇِﻥْ ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻓِﻲ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟﺘَّﺤْﺮِﻳﻢِ ﻓَﻬِﻲَ ﻣُﺤَﺮَّﻣَﺔٌ، ﻭَﺇِﻥْ ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻓِﻲ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟْﻤَﻨْﺪُﻭﺏِ ﻓَﻬِﻲَ ﻣَﻨْﺪُﻭﺑَﺔٌ، ﻭَﺇِﻥْ ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻓِﻲ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺮُﻭﻩِ ﻓَﻬِﻲَ ﻣَﻜْﺮُﻭﻫَﺔٌ، ﻭَﺇِﻥْ ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻓِﻲ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟْﻤُﺒَﺎﺡِ ﻓَﻬِﻲَ ﻣُﺒَﺎﺣَﺔٌ، ﻭَﻟِﻠْﺒِﺪَﻉِ ﺍﻟْﻮَﺍﺟِﺒَﺔِ ﺃَﻣْﺜِﻠَﺔٌ .

Artinya, “Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW.
Bid‘ah itu sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah.
Metode untuk mengategorisasinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bid‘ah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah wajib. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut keharaman, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah haram. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kesunahan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah sunah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kemakruhan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah makruh. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah mubah. Bid‘ah wajib memiliki sejumlah contoh,” (Lihat Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam , Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 2010, Juz II, Halaman 133-134).

Contoh bid‘ah wajib antara lain mempelajari ilmu nahwu (gramatika Arab) sebagai perangkat untuk memahami Al-Quran dan Hadits, mendokumentasikan kata-kata asing dalam Al-Quran dan Hadits, pembukuan Al-Quran dan Hadits, penulisan ilmu Ushul Fiqh. Sementara contoh bid‘ah haram adalah hadirnya madzah Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, atau Mujassimah. Contoh yang dianjurkan adalah sembahyang tarawih berjamaah, membangun jembatan, membangun sekolah. Contoh bid’ah makruh adalah menghias mushhaf dengan emas. Sedangkan contoh bid’ah mubah adalah jabat tangan usai sembahyang subuh dan ashar, mengupayakan sandang, pangan, dan papan yang layak dan bagus. Contoh bid‘ah di Indonesia antara lain peringatan tahlil berikut hitungan hari-harinya, peringatan Isra dan Miraj dan lain sebagainya yang kesemuanya bahkan dianjurkan oleh agama. Contoh-contoh ini dapat dikembangkan sesuai tuntutan kaidah hukumnya seperti diterangkan Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Semoga pengertian dan pembagian bid‘ah di atas dapat menurunkan intensitas kontroversi di masyarakat perihal bid‘ah. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb


PRESIDEN LUDROK
Mgertos sedekah bumi/laut naliko sesembahan kepala kerbau,sego buceng, di iringi kenduri/wasilah. Mendoakan para sesepuh.leluhur yang telah wafat. (Bid'ah hassanah)

👆🏻sesampingan masalah di atas di iringi adanya sesembahan tumbal/sesajen berupa nyawa, berpesta poya, paribasan mendatangkan/mengundang alam jin,blaong.ratu kidul,dll (bid'ah syayi'ah/dholalah)

SANTRIMBELINK

Misbahul munir shohf 138


 : أبدع الله تعالى الخلق إبداعا خلقهم لا على مثال وأبدعت وأبدعته، استخرجته وأحدثته ومنه قيل للحالة المخالفة بدعة وهى اسم من الابتداع كالرفعة من الارتفاع ثم غلب استعمالها فيما هو نقص في الدين أو زيادة لكن قد يكون بعضها غير مكروه فيسمى بدعة مباحة وهو ما شهد لجنسه أصل في الشرع أو اقتضته مصلحة يندفع بـها مفسدة "اهـ.

Kitab tadzhib al asma juz 3 shohf 22


البدعة بكسر الباء في الشرع هي: إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلّى الله عليه وءاله وسلم، وهي منقسمة إلى حسنة وقبيحة، قال الإِمام الشيخ الـمجمع على إمامته وجلالته وتمكّنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمّد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في ءاخر كتاب القواعد: "البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرّمة ومندوبة ومكروهة ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإِيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرّمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة".انتهى كلام النووي.


 Syarh shohih bukhori juz 11 shohf 126

عند شرحه لقول عمر ابن الخطاب رضي اللّه عنه: "نعمت البدعة" وذلك عندما جمع الناس في التراويح خلف قارىءٍ وكانوا قبل ذلك يصلون أوزاعًا متفرقين: "والبدعة في الأصل إحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم البدعة على نوعين، إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة"انتهى

Menurut imam malik dr syarh al muwattho' juz 1 shohf 238

عند شرحه لقول عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه: "نعمت البدعة هذه" فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم، ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة. انتهى


KangMathori:

MENGENAL BID`AH MENURUT AHLUSUNNAH WAL JAMA`AH

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻴْﺮِ ﻣِﺜَﺎﻝٍ ﺳَﺎﺑِﻖٍ

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

ﺍَﻹِﺑْﺪَﺍﻉُ ﺇِﻧْﺸَﺎﺀُ ﺻَﻨْﻌَﺔٍ ﺑِﻼَ ﺍﺣْﺘِﺬَﺍﺀٍ ﻭَﺍﻗْﺘِﺪَﺍﺀٍ . ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘُﻌْﻤِﻞَ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻓَﻬُﻮَ ﺇِﻳْﺠَﺎﺩُ ﺍﻟﺸَّﻰْﺀِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺀَﺍﻟَﺔٍ ﻭَﻻَ ﻣﺂﺩَّﺓٍ ﻭَﻻَ ﺯَﻣَﺎﻥٍ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥٍ، ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺫﻟِﻚَ ﺇِﻻَّ ﻟﻠﻪِ . ﻭَﺍﻟْﺒَﺪِﻳْﻊُ ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟِﻠْﻤُﺒْﺪِﻉِ ﻧَﺤْﻮُ ﻗَﻮْﻟِﻪِ : ‏( ﺑَﺪِﻳْﻊُ ﺍﻟﺴّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽ ‏) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ 117: ، ﻭَﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟِﻠْﻤُﺒْﺪَﻉِ – ﺑِﻔَﺘْﺢِ ﺍﻟﺪَّﺍﻝِ - ﻧَﺤْﻮُ ﺭَﻛْﻮَﺓٍ ﺑَﺪِﻳْﻊٍ . ﻭَﻛَﺬﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒِﺪْﻉُ ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ، ﺑِﻤَﻌْﻨَﻰ ﺍﻟْﻔَﺎﻋِﻞِ ﻭَﺍﻟْﻤَﻔْﻌُﻮْﻝِ . ﻭَﻗَﻮْﻟُﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ : ‏( ﻗُﻞْ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺖُ ﺑِﺪْﻋًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞ ‏) ﺍﻷﺣﻘﺎﻑ : 9 ، ﻗِﻴْﻞَ ﻣَﻌْﻨَﺎﻩُ : ﻣُﺒْﺪَﻋًﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻘَﺪَّﻣْﻨِﻲْ ﺭَﺳُﻮْﻝٌ، ﻭَﻗِﻴْﻞَ : ﻣُﺒْﺪِﻋًﺎ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺃَﻗُﻮْﻟُﻪُ . ﺍﻫـ

“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.

Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat.
Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”.
Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid’u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”,
menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)”
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
[

SANTRIMBELINK

وقال الحافظ ابن حجر في فتح الباري، شرح صحيح البخاري، المـجلد الثاني، كِتَاب الْجُمُعَةِ،  باب الأَذَانِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ:" وكل ما لم يكن في زمنه– صلى الله عليه وسلم –  يسمى بدعة، لكن منها ما يكون حسنا ومنها ما يكون بخلاف ذلك "اهـ.

Manaqib assyafi'i juz 1 shohf 469

المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة، والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة.

Hilyatul auliya juz 9 shohf 76

عن إبراهيم بن الجنيد قال: حدثنا حرملة بن يحيى قال: سمعت محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي" اهـ

KANG GEPPENK
bid'ah menurut kitab tahdzib:
mengada-ada (membuat ada) apa yg blm ada d jaman rasul. terbagi menjadi dua : baik dan buruk

sdg menurut imam abd.aziz secara teori ilmu, terbagi menjadi lima, dg syarat masing2 :
1. wajib
2. harom
3. sunnah
4. mekruh
5. mubah

dr kitab manakib assyafi'ie :
bid'ah ada 2 tipe :

1. bid'ah haram: apa2 yg tdk seauai qur'an, hadist, amaliyah sahabat, ijma'..
2. bid'ah yg diperbolehkan: yg tdk menyalahi semua itu.

dr kitab hilyatul auliya :
intinya sama plek dg kitab manakib syafi'ie.
dg contoh qiyam ramadhan (tarawih bersama, di jaman shbt Umar bin Khattab) adalah bid'ah yg diperbolehkan.


SUMBER BY DASI ON WA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Qodlo sholat dalam perjalanan / sholat lihurmatil wakti

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh. Deskripsi Masalah : Pada suatu ketika saya dari surabaya berangkat jam 19:00 dan sampai ke J...