DASI
one day three problem
Pertanyaan dari =>
keluarga dasi: mbak ell
Tema:
Judul:
Deskripsi masalah:
Ada seorang santri di nikahkan oleh yai. Setelah itu daftar resmi ke kua dan di kua di ijabkan lg oleh naib.
Pertanyaan :
1. Bagaimana hukum pernikahanya?
2. Tambahan pertanyaan apakah ada kewajiban memberi mahar??
Jawab :
1. Hukum nikahnya sah
2. Kalau bertujuan untuk menguatkan akad nikah yg dalam arti legalitas secara hukum negara maka tdk
ada kewajiban untuk memberi mahar menurut pendapat jumhur ulama.
Menu makan malam
Pukul : 20:00-22:00 WIB
Selasa,20 juni 2017
DASI
Hamba Allah :
Secara bahasa perkataan tajdid nikah berasal dari kata, Jaddada – Yujaddidu – Tajdiidan yang artinya pembaharuan. Yang dimaksud pembaharuan disini adalah memperbaharui nikah, dengan arti sudah pernah terjadi akad nikah yang sah menurut syara’, kemudian dengan maksud sebagai ihtiyath (hati-hati) dan membuat kenyamanan hati maka dilakukan akad nikah sekali lagi atau lebih. Tajdid nikah dalam pengertian di atas, menurut hemat kami sah-sah saja dilakukan dan tindakan tersebut tidak mengakibatkan batal akad nikah sebelumnya. Kesimpulan ini berdasarkan argumentasi sebagai berikutt :
1. Tajdid nikah merupakan tindakan sebagai langkah membuat kenyamanan hati dan ihtiyath (kehati-hatian) yang diperintah dalam agama sebagaimana kandungan sabda Nabi SAW yang berbunyi :
الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ
Artinya : Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat/samar-samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. (H.R. Bukhari)[1]
2. Hadist Salamah, beliau berkata :
بَايَعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِي يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ قَالَ وَفِي الثَّانِي
Artinya : Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at kepada Nabi SAW, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab.[3] Karena itu, bai’at Salamah kali kedua ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang pertama. Tajdid nikah dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara pihak-pihak. Pendalilian seperti ini telah dikemukakan oleh Ibnu Munir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Ibnu Munir berkata :
“Dipahami dari hadits ini (hadits di atas) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama, ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah yang berpendapat demikian (mengakibatkan fasakh).”
Mengomentari pernyataan Ibnu Munir yang mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat mengulangi akad nikah dan akad lainnya dapat mengakibatkan fasakh akad pertama, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Aku mengatakan : “Yang shahih di sisi ulama Syafi’iyah adalah mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama.”
Kesimpulan bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama dapat juga dipahami dari nash kitab dari kalangan ulama Syafi’iyah, antara lain :
1. Zakariya al-Anshari dalam kitab beliau, Fath al-Wahab mengatakan :
“Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sir (sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu, kemudian diulang kembali akad itu secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya adalah seribu.”[5]
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Jalaluddin al-Mahalli dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj.[6]
Di sini, kedua ulama di atas mengakui bahwa akad nikah kedua tidak membatalkan akad nikah pertama. Buktinya, beliau berpendapat bahwa kewajiban mahar dikembalikan menurut yang disebutkan dalam akad yang pertama. Kalau akad yang kedua membatalkan akad yang pertama, maka tentunya jumlah mahar tidak dikembalikan kepada akad yang pertama. Oleh karena itu, dipahami bahwa akad yang kedua hanyalah dengan tujuan memperindah saja.
2. Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Dipahami daripada bahwa akad apabila diulangi, yang dii’tibar adalah akad yang pertama,……… dan seterusnya s/d beliau mengatakan, sesungguhnya semata-mata muwafakat suami melakukan bentuk aqad nikah yang kedua (misalnya), bukanlah merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab (pengakuan thalaq) atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi dan itu dhahir … s/d beliau mengatakan, sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbaharui nikah) semata-mata keinginannya untuk memperindah atau berhati-hati.”[7]
Radaksi di atas dalam Bahasa Arab, lengkapnya :
وَلَوْ تَوَافَقُوا ) أَيْ الزَّوْجُ وَالْوَلِيُّ وَالزَّوْجَةُ الرَّشِيدَةُ فَالْجَمْعُ بِاعْتِبَارِهَا أَوْ بِاعْتِبَارِ مَنْ يَنْضَمُّ لِلْفَرِيقَيْنِ غَالِبًا ( عَلَى مَهْرٍ سِرًّا وَأَعْلَنُوا بِزِيَادَةٍ فَالْمَذْهَبُ وُجُوبُ مَا عُقِدَ بِهِ ) أَوَّلًا إنْ تَكَرَّرَ عَقْدٌ قَلَّ أَوْ كَثُرَ اتَّحَدَتْ شُهُودُ السِّرِّ وَالْعَلَنِ أَمْ لَا لِأَنَّ الْمَهْرَ إنَّمَا يَجِبُ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يُنْظَرْ لِغَيْرِهِ وَيُؤْخَذُ مِنْ أَنَّ الْعُقُودَ إذَا تَكَرَّرَتْ اُعْتُبِرَ الْأَوَّلُ مَعَ مَا يَأْتِي أَوَائِلَ الطَّلَاقِ[8] أَنَّ قَوْلَ الزَّوْجِ لِوَلِيِّ زَوْجَتِهِ زَوِّجْنِي كِنَايَةٌ بِخِلَافِ زَوجهَا فَإِنَّهُ صَرِيحٌ أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلًا لَا يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ الْأُولَى بَلْ وَلَا كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ وَلَا يُنَافِيهِ مَا يَأْتِي قُبَيْلَ الْوَلِيمَةِ[9] أَنَّهُ لَوْ قَالَ كَانَ الثَّانِي تَجْدِيدَ لَفْظٍ لَا عَقْدًا لَمْ يُقْبَلْ لِأَنَّ ذَاكَ فِي عَقْدَيْنِ لَيْسَ فِي ثَانِيهِمَا طَلَبُ تَجْدِيدٍ وَافَقَ عَلَيْهِ الزَّوْجُ فَكَانَ الْأَصْلُ اقْتِضَاءَ كُلِّ الْمَهْرِ وَحَكَمْنَا بِوُقُوعِ طَلْقَةٍ لِاسْتِلْزَامِ الثَّانِي لَهَا ظَاهِرًا وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَحَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْه
Ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa tajdid nikah dapat membatalkan nikah sebelumnya, antara lain Yusuf al-Ardabili al-Syafi’i, ulama terkemuka mazhab Syafi’i (wafat 779 H) sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya, al-Anwar li A’mal al-Anwar sebagai berikut :
“Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallil.”
Santri Embongan :
Misale.
Ada Seorang lelaki dn wanita, pada saat itu mereka sama2 mnjadi abfi dhalem yai. Nah pada akhirnya nereka di nikahkan. Tpi tdak melalui negara (KUA). Slanjutnya setelah mereka belama2 mnjadi abdi dhalem mereka brdua memutuskan untuk tinggal dirumah yg asli dripda tinggal di rumah yai. Singkat cerita mereka balik krumah aslinya dan mndaftarkan ke KUA. Nah dsitu di akad lagi.
Ibnu Qusyairi :
Mngkin tuk bisa lebih jlasnya.
Prnikahan yg prtama yg di akad oleh yai( bahasa yg lebih praktisnya nikah siri) scra agama sah nmun scra negara lum trdaftar.
N nikah yg kdua yg di akad di KUA scra resmi,,sah mnurut agma n negara.
Kbnyakn emg ad yg nikah sprti itu n tjuane nikah siri dulu itu tuk mnghindari fitnah...
Muhajiriin:
Boleh dan sah.
أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلاً لاَ يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ اْلأُولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ إِلَى أَنْ قَالَ وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَجَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْهُ.
"Sesungguhnya persetujuan murni suami atas aqad nikah yang kedua (memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas ….s/d … sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbarui nikah) semata-mata untuk memperindah atau berhati-hati". Tuhfah al-Muhtaaj VII/391
Kg Ireng:
Sepengetahuan saya aqdunikah di KUA beserta mahar hanya sebagai syarat untuk di legalkan secara negara untuk bisa menerima surat nikah...
Santrimbelink🏾:
Qurrotul 'Ain Bi Fatawi Isma'il Az-Zen shohf 148
حكم التجديد النكاح
سؤال : ما حكم تجديد النكاح ؟
الجواب: أنه إذا قصد به التأكيد فلا بأس به لكن الأولى تركه والله أعلم
تجديد عقد النكاح لا يوجب مهرا جديدا
سؤال : ماقولكم فيمن جدد نكاحه فهل يجب عليه أو يسن أن يعطيها الصداق مرة ثانية لذكره في العقد الجديد أولا سواء طلقها الزوج بعد ذلك أو لا ؟
الجواب : لايجب عليه أن يجدد صداقا وتجديد صيغة عقد النكاح فإنما هي للتأكيد والأولى والله سبحانه وتعالى أعلم
Ibnu Qusyairi:
Menurut spengtahuan skligus sbgai saksi akad nikah yg di lkukan sprti atas n mngenai mahar prtma n mahar kdua,,ini sma2 boleh mmbri mahar n biasanya mahar dg bntuk uang,,ad sbgian mahar prtma n kdua sma nominalnya,,ad jg yg beda nominlnya (ntah lbih rendah/lbih tinggi nomnalny)...
Santrimbelink🏾:
akad nikah yang dilakukan oleh petugas KUA itu diperbolehkan, apalagi hal ini menyangkut legalitas akad nikah, dan menurut pendapat mayoritas ulama' akad nikah yang kedua tidak wajib menggunakan mahar dan akad kedua tersebut
Hasyiyatul jamal juz 4 shohf 245
وعبارته: لأن الثاني لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا
للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ
“ Karena akad yang kedua ( Pembaharuan nikah ) tidak dikatakan benar – benar akad, namun itu adalah gambaran akad (pertama), berbeda dengan pendapat yang ditampakan dalam Al Anwar li A’mal al Abror. Dan termasuk yang menjadi dalil dalam masalah saya ini apa yang diterangkan dalam Fathul bari tentang pendapat Al Bukhori sampai dia berkata, berkata Ibnu al Munir hadis ini memberi pengertian bahwa mengulang lafal akad nikah dan lainnya bukanlah fasakh (merusak) akad yang pertama berbeda dengan apa yang diklaim sebagian syafi iyah, saya berpendapat yang benar menurut syafiiyah adalah tidak merusak (akad pertama) sebagaimana pendapat jumhur ulama
Sumber By Dasi on WA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar