Selasa, 14 April 2020

Kewajiban Qodlo sholat dalam perjalanan / sholat lihurmatil wakti

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh.
Deskripsi Masalah :
Pada suatu ketika saya dari surabaya berangkat jam 19:00 dan sampai ke Jakarta jam 08:00 dan saya sholat subuh didalam kereta sebisanya (sholat lihurmatil waqti).
Pertanyaan :
A. Bagaimana hukum sholat lihurmatil waqti?
B. Seandainya tidak sholat lihurmatil waqti, dosakah?
JAWABAN :
Wa alaikumussalaam warohmatulloohi wabarokaatuh.
A. Tafsil :
a. Apabila keretanya keadaan berjalan dan tidak menghadap ke arah kiblat, maka dia wajib sholat lihurmatil waqti dan wajib mengqodlo’nya.
b. Apabila keretanya keadaan berjalan dan menghadap ke arah kiblat, maka ia wajib sholat lihurmatil waqti ada 2 hal :
1) Jika dia sholat dapat menyempurnakan pelaksanaan ruku’ dan sujudnya, maka kewajiban mengqodlo’ sholatnya khilaf. Akan tetapi menurut pendapat yang kuat, wajib mengqodlo’ sholatnya, karena tempat sholat itu harus diam (tidak berjalan).
a) Jika ia sholat tidak dapat menyempurnakan pelaksanaan ruku’ dan sujudnya, maka ulama sepakat wajib mengqodlo’ sholatnya
.
B. Khilaf :
a. Berdosa, karena tidak mengerjakan sholat yang wajib pada waktunya.
b. Tidak berdosa, karena tidak wajib mengerjakan sholat pada waktunya jika sholat tersebut wajib diqodlo’.
Referensi jawaban soal A & B :
اﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺷﺮﺡ اﻟﻤﻬﺬﺏ – (ج 3 / ص 223) ﺩاﺭ اﻟﻔﻜﺮ
(ﻓﺮﻉ) ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻭﻟﻮ ﺣﻀﺮﺕ اﻟﺼﻼﺓ اﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺔ ﻭﻫﻢ ﺳﺎﺋﺮﻭﻥ ﻭﺧﺎﻑ ﻟﻮ ﻧﺰﻝ ﻟﻴﺼﻠﻴﻬﺎ ﻋﻠﻲ اﻻﺭﺽ اﻟﻲ اﻟﻘﺒﻠﺔ اﻧﻘﻄﺎﻋﺎ ﻋﻦ ﺭﻓﻘﺘﻪ ﺃﻭ ﺧﺎﻑ ﻋﻠﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺃﻭ ﻣﺎﻟﻪ ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﺗﺮﻙ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﺇﺧﺮاﺟﻬﺎ ﻋﻦ ﻭﻗﺘﻬﺎ ﺑﻞ ﻳﺼﻠﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﺪاﺑﺔ ﻟﺤﺮﻣﺔ اﻟﻮﻗﺖ ﻭﺗﺠﺐ اﻻﻋﺎﺩﺓ ﻻﻧﻪ ﻋﺬﺭ ﻧﺎﺩﺭ ﻫﻜﺬا ﺫﻛﺮ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﺻﺎﺣﺐ اﻟﺘﻬﺬﻳﺐ ﻭاﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻭﻗﺎﻝ اﻟﻘﺎﺿﻰ ﺣﺴﻴﻦ ﻳﺼﻠﻲ ﻋﻠﻲ اﻟﺪاﺑﺔ ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﻗﺎﻝ ﻭﻭﺟﻮﺏ اﻻﻋﺎﺩﺓ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﻭﺟﻬﻴﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻻ ﺗﺠﺐ ﻛﺸﺪﺓ اﻟﺨﻮﻑ ﻭاﻟﺜﺎﻧﻰ ﺗﺠﺐ ﻻﻥ ﻫﺬا ﻧﺎﺩﺭ
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 2 / ص 236)
ﺣ ـ اﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ، ﻭﻣﺜﻠﻬﺎ اﻟﻄﺎﺋﺮﺓ ﻭاﻟﺴﻴﺎﺭﺓ: ﺗﺠﻮﺯ ﺻﻼﺓ اﻟﻔﺮﻳﻀﺔ ﻓﻲ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻭاﻟﻄﺎﺋﺮﺓ ﻭاﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﻗﺎﻋﺪا، ﻭﻟﻮ ﺑﻼ ﻋﺬﺭ ﻋﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ﻭﻟﻜﻦ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭاﻟﺴﺠﻮﺩ.
ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺼﺎﺣﺒﺎﻥ: ﻻ ﺗﺼﺢ ﺇﻻ ﻟﻌﺬﺭ، ﻭﻫﻮ اﻷﻇﻬﺮ. ﻭاﻟﻌﺬﺭ ﻛﺩﻭﺭاﻥ اﻟﺮﺃﺱ، ﻭﻋﺪﻡ اﻟﻘﺪﺭﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﺨﺮﻭﺝ.
ﻭﻳﺸﺘﺮﻁ اﻟﺘﻮﺟﻪ ﻟﻠﻘﺒﻠﺔ ﻓﻲ ﺑﺪء اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻳﺴﺘﺪﻳﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻛﻠﻤﺎ اﺳﺘﺪاﺭﺕ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ، ﻭﻟﻮ ﺗﺮﻙ اﻻﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﻻ ﺗﺠﺰﺋﻪ اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﺇﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ اﻻﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﻳﻤﺴﻚ ﻋﻦ اﻟﺼﻼﺓ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ اﻹﺗﻤﺎﻡ ﻣﺴﺘﻘﺒﻼ.
ﻭاﻟﺴﻔﻴﻨﺔ اﻟﻤﺮﺑﻮﻃﺔ ﻓﻲ ﻟﺠﺔ ﺃﻭ ﻋﺮﺽ اﻟﺒﺤﺮ اﻟﺘﻲ ﺗﺤﺮﻛﻬﺎ اﻟﺮﻳﺢ اﻟﺸﺪﻳﺪﺓ ﻛﺎﻟﺴﺎﺋﺮﺓ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﺗﺤﺮﻛﻬﺎ ﻓﻬﻲ ﻛﺎﻟﻮاﻗﻔﺔ ﻋﻠﻰ اﻷﺻﺢ. ﻭاﻟﻤﺮﺑﻮﻃﺔ ﺑﺎﻟﺸﻂ ﺃﻭاﻟﻤﺮﻓﺄ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ اﻟﺼﻼﺓ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﺎﻋﺪا اﺗﻔﺎﻗﺎ.
ﻭاﻟﺜﺎﺑﺖ ﻓﻲ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺟﻮﺏ اﻟﻘﻴﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﻲ ﻓﻲ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ، ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ اﻟﻘﻌﻮﺩ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﺧﺸﻴﺔ اﻟﻐﺮﻕ، ﻟﻘﻮﻝ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ: «ﺳﺌﻞ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻛﻴﻒ ﺃﺻﻠﻲ ﻓﻲ اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ؟ ﻗﺎﻝ: ﺻﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﺎﺋﻤﺎ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺨﺎﻑ اﻟﻐﺮﻕ».
شرح البهجة الوردية – (ج 2 / ص 328)
ﻭﻧﻘﻞ ﺇﻣﺎﻡ اﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻭاﻟﻐﺰاﻟﻲ ﺃﻥ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ ﻗﻮﻻ ﺃﻥ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﺗﻔﺘﻘﺮ ﺇﻟﻰ اﻟﻘﻀﺎء ﻻ ﻳﺠﺐ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﻮﻗﺖ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻗﻮﻻ ﺑﺄﻥ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﻭﺟﺒﺖ ﻓﻲ اﻟﻮﻗﺖ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻦ ﺧﻠﻞ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻗﻀﺎﺅﻫﺎ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ اﻟﻤﺰﻧﻲ ﻭﻫﻮ اﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺩﻯ ﻭﻇﻴﻔﺔ اﻟﻮﻗﺖ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﺠﺐ اﻟﻘﻀﺎء ﺑﺄﻣﺮ ﺟﺪﻳﺪ ﻭﻟﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﻓﻴﻪ ﺷﻲء ﺑﻞ ﺛﺒﺖ ﺧﻼﻓﻪ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ اﻫـ ﻣﺠﻤﻮﻉ
التقريرات السديدة – (ج 1 / ص 201)
وأما صلاة الفرض إن تعينت عليه أثناء الرحلة وكانت الرحلة طويلة بأن لم يستطع الصلاة قبل صعودها أوانطلاقها أوبعد هبوبها في الوقت ولوتقديما أوتأخيرا ففي هذه الحالة يجب عليه أن يصلي لحرمة الوقت مع استقبال القبلة وفيها حالتان :
۱- إن صلى بإتمام الركوع والسجود ففي وجوب القضاء عليه خلاف لعدم استقرار الطائرة في الأرض والمعتمد أن عليه القضاء.
٢- وإن صلى بدون الركوع والسجود أو بدون استقبال القبلة مع الإتمام فيجب عليه القضاء بلاخلاف.
Wallahu a’lamu bisshowab..

Antara Sholat Ada' dan Sholat Qodlo'

Assalamualaikum Ustadz..
Deskripsi masalah:
Ada seseorang yang meninggalkan salat fardu krn tanpa disengaja/disengaja tentu salatnya perlu diqodo’.
Pertanyaannya:
Mana yang harus diutamakan antara shalat ada’an dan qodo’an?
JAWABAN :
Wa alaikumussalaam warohmatulloohi wabarokaatuh.
Dahulukan qodo’an apabila waktu shalat ada’an masih panjang.
Perinciannya sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini :
(1). Wajib mengqodo’ terhadap sholat qodo’, jika sholat qodo’ itu tidak dikerjakan karena tanpa udzur.
(2). Dan disunnatkan mengqodo’ terhadap sholat qodo’ jika sholat qodo’ itu tidak dikerjakan karena udzur,seperti karena tidur yang tidak disengaja,dan juga jika sholat qodo’ itu tidak dikerjakan karena lupa maka disunnatkan segera mengqodho’ terhadap sholat qodo’ itu.
(3). Dan disunnatkan mentartibkan didalam mengqodho’ terhadap sholat qodo’.Sehingga orang itu disunnatkan mengqodo’ terhadap sholat subuh sebelum sholat duhur.
(4). Dan disunnatkan mendahulukan mengqodho’ sholat qodo’ yang tidak dikerjakan disebabkan karena udzur dulu,baru kemudian mengerjakan terhadap sholat ada’an.Tapi dengan syarat jika tidak dikhawatirkan tidak dikerjakannya sholat ada’an.Walaupun dikhawatirkan hilangnya kesempatan untuk mengerjakan sholat berjamaah terhadap sholat ada’an.
(5). Tapi jika sholat qodo’ itu tidak dikerjakan karena tanpa udzur,maka wajib mendahulukan sholat qodo’ atas sholat ada’an.
(6). Adapun jika orang itu khawatir terhadap tidak dikerjakannya sholat ada’an (artinya jika sebagian dari sholat ada’an itu khawatir dikerjakan diluar waktunya sholat ada’an itu)maka wajib bagi orang itu memulai dengan sholat ada’an.
(7). Dan wajib mendahulukan sholat yang tidak dikerjakan karena tanpa udzur (didahulukan)atas sholat yang tidak dikerjakan karena udzur.
(8). Dan disunnatkan mengakhirkan sholat sunnat rowaatib(diakhirkan)dari sholat qodo’ (yang tidak dikerjakan karena udzur).
(9). Dan wajib mengakhirkan sholat sunnat rowatib(diakhirkan)dari sholat qodo’ yang tidak dikerjakan karena tanpa udzur.
(اعانة الطالبين،جز ١, صحيفة ٢٣)
(ويبادر) من مر(بفاءت) وجوبا ان فات بلا عذر فيلزمه القضاء فورا، قال شيخنا احمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر انه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وانه يحرم عليه التطوع،انتهى، ويبادر ندبا ان فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك(ويسن ترتيبه) اي الفاءت فيقضي الصبح قبل الظهر وهكذا (وتقديمه على حاضرة لا يخاف فوتها) ان فات بعذر وان خشي فوت جماعتها على المعتمد، واذا فات بلا عذر فيجب تقديمه عليها،اما اذا خاف فوت الحاضرة باءن يقع بعضها وان قل خارج الوقت فيلزمه البدء بها،ويجب تقديم ما فات بغير عذر على ما فات بعذر وان فقد الترتيب لاءنه سنة والبدار واجب، ويندب تأخير الرواتب عن الفواءت بعذر، ويجب تأخيرها عن الفواءت بغير عذر.
Wallahu a’lamu bisshowab..

Masalah Qunut Di 15 hari Terakhir Ramadhan

Assalamualaikum Semuanya.
Saya mau bertanya tentang Qunut di bulan Ramadlan. Kenapa yang disunnahkan membaca Qunut pada tanggal 15 akhir bulan Ramadlan dalam shalat sunnah Witir ? Kenapa dari tanggal 1 s/d 14 tidak dianjurkan, silahkan saudara-saudaraku berbagi ilmunya.
Terimakasih.
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam.
Baiklah, untuk menjawab pertanyaan di atas, kita awali dari Hadits ‘Umar :
ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ – ﺍﻟﺘﻠﺨﻴﺺ ﺍﻟﺤﺒﻴﺮ ﻓﻲ ﺗﺨﺮﻳﺞ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ 2/122 :
50- 551 ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻤﺮ ” : ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﺼﻒ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ، ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ : ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ . ” ﺭﻭﻳﻨﺎﻩ ﻓﻲ ﻓﻮﺍﺋﺪ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﺭﺯﻗﻮﻳﻪ ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﻙ ، ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻛﺎﻣﻞ ، ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺣﻔﺺ ﻗﺎﻝ : ﻗﺮﺃﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻘﻞ ، ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ، ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ : ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺧﺮﺝ ﻟﻴﻠﺔ ﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻪ ، ﻓﺮﺃﻯ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺃﻭﺯﺍﻋﺎ ﻣﺘﻔﺮﻗﻴﻦ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻬﻢ ﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ، ﻓﺨﺮﺝ ﻋﻤﺮ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺑﺼﻼﺓ ﻗﺎﺭﺋﻬﻢ ، ﻓﻘﺎﻝ : ﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﻫﺬﻩ ، ﻭﺍﻟﺘﻲ ﻳﻨﺎﻣﻮﻥ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ . ﻳﺮﻳﺪ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﻠﻴﻞ ، ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻓﻲ ﺃﻭﻟﻪ . ﻭﻗﺎﻝ : ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﺼﻒ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﺭﻛﻌﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ ، ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻟﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ . ﻭﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺣﺴﻦ .
551-50 – Hadits ‘Umar : Sunnah adalah apabila bulan Ramadhan sudah dapat separuh maka hendaknya melaknat orang-orang kafir di dalam shalat witir setelah membaca : Sami’allahu Liman Hamidahu. Kami meriwayatkannya dalam Fawa`id Aby al-Hasan bin Razqawih dari ‘Utsman bin al-Simak dari Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Kamil dari Sa’id bin Hafsh berkata: Kami membaca atas Mi’qal dari al-Zuhry dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qary bahwa pada suatu malam di bulan Ramadhan ‘Umar keluar dan dia bersamanya. Lalu ‘Umar melihat jama’ah masjid mengerjakan shalat secara terbagi dan terpisah-pisah. Dan dia menyuruh Ubay bin Ka’ab untuk mengomandoi mereka dibulan Ramadhan. Kemudian ‘Umar keluar sementara jama’ah melakukan shalat dengan panduan imam mereka, lalu dia berkata: Alangkah baiknya bid’ah ini, dan sesuatu yang mereka tidur meninggalkannya itu lebih utama dari apa yang mereka lakukan (dia maksudkan) di akhir malam, dan mereka melakukan di awal malam. Dan ‘Umar berkata: Sunnah adalah apabila bulan Ramadhan dapat separuh maka hendaknya melaknat orang-orang kafir di akhir rakaat shalat witir setelah membaca : Sami’allahu Liman Hamidahu. Lalu berdo’a: Wahai Allah, laknatilah orang-orang kafir. Sanad hadits ‘Umar ini Hasan.
Hubungan hadits di atas dengan hadits di bawah ini untuk mengetahui rahasia penempatan do’a qunut pada separuh akhir di bulan Ramadhan :
ﻣﺮﻗﺎﺓ ﺍﻟﻤﻔﺎﺗﻴﺢ ﺷﺮﺡ ﻣﺸﻜﺎﺓ ﺍﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ – ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺼﻼﺓ – ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ- ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺭﻗﻢ3 :
ﺍﻟﻔﺼﻞ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ 1293 – ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ، ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ، ﺟﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ، ﻓﻜﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﻬﻢ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻟﻴﻠﺔ ، ﻭﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺑﻬﻢ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻷﻭﺍﺧﺮ ﺗﺨﻠﻒ ﻓﺼﻠﻰ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ ، ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ : ﺃﺑﻖ ﺃﺑﻲ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ .
ﻭﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺑﻬﻢ ، ﺃﻱ : ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﻭﻟﻌﻠﻪ ﻣﻘﻴﺪ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻟﻤﺎ ﻣﺮ ﺑﺴﻨﺪ ﺹﺣﻴﺢ ﺃﻭ ﺣﺴﻦ ، ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ، ﺃﻥ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﺼﻒ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﺛﻢ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺗﻔﺎﺅﻻ ﺑﺰﻭﺍﻟﻬﻢ ﻭﺍﻧﺘﻘﺎﻟﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﺤﺎﻟﻠﻬﻢ ﻭﺍﻧﺘﻘﺎﺻﻬﻢ ، ﻛﻤﺎ ﺍﺧﺘﻴﺮ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﻟﻠﺤﺠﺎﻣﺔ ﻭﺍﻟﻔﺼﺪ ﻣﻦ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﺪﻡ ﻟﺨﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﻭﺯﻭﺍﻝ ﺍﻟﻌﺎﻫﺔ .
Fasal Ketiga 1293 – dari al-Hasan ra. bahwa ‘Umar bin al-Khatthab ra. mengumpulkan jama’ah atas pemandu Ubay bin Ka’ab, lalu dia melakukan shalat bersama mereka selama dua puluh malam, dan dia tidak berdo’a qunut bersama mereka kecuali di separuh akhir yang tersisa. Kemudian ketika sudah sepuluh hari yang akhir dia mundur lalu shalat di rumahnya. Lantas mereka berkata: Ubay telah kabur. HR. Abu Daud
Redaksi Hadits: “Dan dia tidak berdo’a qunut bersama mereka”. Maksudnya dalam shalat witir dan barangkali hal itu teruntuk mendo’akan orang-orang kafir sesuai hadits yang telah lewat dengan sanad yang shahih atau hasan dari ‘Umar “bahwa sunnah adalah apabila Ramadhan sudah dapat separuh hendaknya melaknat orang-orang kafir dalam shalat witir”. Kemudian wajah hikmah terpilihnya separuh akhir itu sebagai sikap pengharapan dengan sirnanya mereka, berpindahnya mereka dari perkemahannya, dan berkurangnya jumlah mereka, sebagaimana terpilihnya separuh akhir dalam setiap bulan untuk melakukan bekam, cantuk dari keluarnya darah karena keluarnya penyakit, dan sirnanya penyakit hama.
– Fathulwahhab bab shalat sunnah :
.وان الجماعة تنذب فى الوترتقب التراويح جماعة وتقدم فى صفةالصلاةانه يسن فيه القنوت في النصف الثاني من رمضان
Disunnahkan berjama’ah dalam salat witir bulan ramadan dan juga disunnahkan berqunut pada separo kedua bulan ramadan dalam salat witir.
الوسيط (2/ 213)
الخامس القنوت مستحب في الوتر في النصف الأخير من رمضان بعد رفع الرأس من الركوع وقال أبو حنيفة يقنت قبل الركوع في الوتر جميع السنة وقال مالك بعد الركوع في جميع شهر رمضان وفي الجهر بالقنوت خلاف
Yang ke 5 qunut disunnahkan pada sholat witir diseparo akhir dari bulan romadlon setelah mengangkat kepala dari ruku’, Abu Hanifah berpendapat sunnah melakukan qunut sebelum melakukan rukuk pada sholat witir dalam semua tahun, imam malik berpendapat qunut setelah rukuk pada sholat witir hukumnya sunnah dibulan romadlon secara keseluruhan, adapun tentang hukum membaca nyaring pada qunut terjadi perbedaan pendapat.
Wallohu a’lamu bisshowab..

Standart kerapatan shof dalam sholat jamaah

Assalamu’alaikum Ustadz..
Sebenarnya ukuran rapat dalam shof sholat itu seberapa rapat sih? minta keterangannya.
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam Warohmatullahi Wabarakatuh..
Yaitu ketika bahu bertemu bahu dan kaki bertemu kaki, hal ini dilakukan sewajarnya saja, tidak terlalu rapat namun juga tidak terlalu longgar barisannya.
قال أنس – رواية – فلقد رأيت أحدنا يلصق منكبه بمنكب صاحبه، وقدمه بقدمه.الكتاب : حاشية إعانة الطالبين ج2 ص29
“Sahabat Anas berkata [dalam sebuah riwayat] maka kami melihat di antara kami saling mempertemukan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki dari lainnya.”
وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق اهـ جمل.الكتاب : بغية المسترشدين ص 140
“Disebutkan bahwa ukuran lebar shaf ketika hendak shalat yaitu yang umum dilakukan oleh seseorang, dengan tanpa berlebihan dalam lebar dan sempitnya.”
بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 112 مكتبة دار الفكر وُتُعْتَبَرُ الْمَسَافَةُ فِيْ عَرْضِ الصُّفُوْفِ بِمَا يُهَيَّأُ لِلصَّلاَةِ وَهُوَ مَا يَسَعُهُمْ عَادَةً مُصْطَفِّيْنَ مِنْ غَيْرِ إِفْرَاطٍ فِي السَّعَةِ وَالضَّيْقِ اهـ جمل
Bahu saling menempel. Kaki renggang sejajar bahu saja. Dan jarak diantara bahunya seseorang ke bahunya orang lain itu jangan terlalu kebar dan jangan terlalu sempit.Dan juga jarak diantara kakinya seseorang ke kakinya orang lain itu jangan terlalu lebar dan jangan terlalu sempit.
Wallahu a’lam bisshowab..

Posisi Sedekap sholat menurut Imam 4 Madzhab

Assalamualaikum Ustadz..
Deskrisi masalah:
Ketika kami memasuki masjid/musholla kami melihat orang setelah takbiratul ihram atau setelah berdiri dari sujud bersedekap kedua tangannya diletakkan tepat ditengah-tengah dadanya dan sebagian diletakkan ditengah dadanya namun agak miring sedikit kelambung kirinya.
Pertanyaannya:
Mana yang lebih utama cara meletakkan kedua tangannya tepat ditengah dadanya dengan dimiringkan sedikit ke arah lambung kiri ketika takbir atau ketika berdiri setelah sujud? mohon penjelasannya.
JAWABAN :
Waalaikumussalaam warohmatulloohi wabarokaatuh..
Yang disunnatkan sesudah takbirotul ihrom menurut Syafi’iyah, telapak tangan kanan diletakkan di pergelangan tangan kiri,dan tangan kiri diletakkan di bawah dada dan di atas pusar, dalam keadaan condong ke arah kiri. Alasannya ialah karena hati itu ada di atas pusar dan di bawah dada, dalam keadaan condong ke arah kiri, sehingga tangan kanan dan tangan kiri berada pada paling mulianya anggota badan (yaitu hati).
Referensi:
(الفقه الاءسلامي وادلته،832/7732)
وضع اليد اليمنى على ظهر اليسرى: قال الجمهور غير المالكية: يسن بعد التكبير أن يضع المصلي يده اليمنى على ظهر كف ورسغ اليسرى، لما رواه وائل بن حجْر أنه رأى النبي صلّى الله عليه وسلم رفع يديه حين دخل في الصلاة، وكبر، ثم التحف بثوبه، ثم وضع يده اليمنى على كفه اليسرى والرسغ والساعد» (1)، ومارواه قَبيصة بن هُلب عن أبيه قال: «كان رسول الله صلّى الله عليه وسلم يؤمنا فيأخذ شماله بيمينه» (2) وما رواه سهل بن سعد قال: «كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل يده اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة» (3) وعن ابن مسعود: «أن النبي صلّى الله عليه وسلم مرّ به، وهو واضع شماله على يمينه، فأخذ يمينه، فوضعها على شماله» (4).
وصفة الوضع عند الحنابلة والشافعية: أن يضع يده اليمنى على كوع اليسرى أو ما يقاربه، لحديث ابن حجر السابق، علماً بأن الكوع طرف الزند مما يلي الإبهام، أما عند الحنفية: فهو أن يجعل باطن كف اليمنى على ظاهر كف اليسرى، محلقاً الرجل بالخنصر والإبهام على الرسغ. أما المرأة فتضع يديها على صدرها من غير تحليق لأنه أستر لها.
(1) رواه أحمد ومسلم وأبو داود، والنسائي واللفظ له.
(2) رواه الترمذي، وقال: حديث حسن.
(3) رواه البخاري.
(4) رواه أبو داود.
ويضعهما عند الحنفية والحنابلة تحت السُّرة، لما روي عن علي أنه قال: «من السنة وضع اليمين على الشمال تحت السرة» (1)، وهذا ينصرف إلى سنة النبي صلّى الله عليه وسلم.
والمستحب عند الشافعية: أن يجعلهما تحت الصدر فوق السرة، مائلاً إلى جهة اليسار؛ لأن القلب فيها، فتكونان على أشرف الأعضاء، وعملاً بحديث وائل بن حجر السابق: «رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلم يصلي، فوضع يديه على صدره، إحداهما على الأخرى» ويؤيده حديث آخر عند ابن خزيمة في وضع اليدين على هذه الكيفية.
وقال المالكية: يندب إرسال اليدين في الصلاة بوقار، لا بقوة، ولايدفع بهما من أمامه لمنافاته للخشوع. ويجوز قبض اليدين على الصدر في صلاة النفل لجواز الاعتماد فيه بلا ضرورة، ويكره القبض في صلاة الفرض لما فيه من الاعتماد أي كأنه مستند، فلو فعله لا للاعتماد، بل استناناً لم يكره، وكذا إذا لم يقصد شيئاً فيما يظهر.
والراجح المتعين لدي هو قول الجمهور بوضع اليد اليمنى على اليسرى، وهو المتفق مع حقيقة مذهب مالك الذي قرره لمحاربة عمل غير مسنون: وهو قصد الاعتماد، أي الاستناد، أو لمحاربة اعتقاد فاسد: وهو ظن العامي وجوب ذلك.
Kesunnahan dalam bersedekap menurut empat madzhab :
1. malikiyah : meletakkan yang kanan di atas yang kiri dengan posisi di antara pusar dan di bawah dada (pertengahannya) bagi laki-laki dan perempuan
2. hanafiyah : bagi (laki-laki) meletakkan yang kanan atas yang kiri dengan melingkarkan ibu jari dan kelingking (mempertemukan) dia pergelangan tangan dan posisinya di bawah pusar bagi (perempuan) meletakkan yang kanan di atas yang kiri dengan posisi di dada dengan tanpa melingkarkan jari di pergelangan tangan.
3. syafi’iyah : meletakkan yang kanan di atas yang kiri dan posisinya di bawah dada dan di atas pusar (di antaranya) dan agak ditarik ke samping sebelah kiri, jari-jari yang kanan direnggangkan(seperti memperlihatkan / memberi ruang bagi tangan kiri) bagi laki-laki dan perempuan.
4. hanabilah : meletakkan yang kanan di atas yang kiri bagi laki-laki dan perempuan dan posisinya di bawah pusar. [ AlFiqh ‘ala madzahibil arba’ah 1/144 ].
– al Fiqh ‘alal Madzaahibil Arba’ah1/285, maktabah syamilah :
يسن وضع اليد اليمنى على اليسرى تحت سرته أو فوقها وهو سنة باتفاق ثلاثة من الأئمة وقال المالكية : إنه مندوب أما كيفيته فانظرها تحت الخط.
المالكية قالوا : وضع اليد اليمنى على اليسرى فوق السرة وتحت الصدر مندوب لا سنة بشرط أن يقصد المصلي به التسنن – يعني اتباع النبي صلى الله عليه و سلم في فعله – فإن قصد ذلك كان مندوبا . أما إن قصد الاعتماد والاتكاء فإنه يكره بأي كيفية . وإذا لم يقصد شيئا . بل وضع يديه هكذا بدون أن ينوي التسنن فإنه لا يكره على الظاهر بل يكون مندوبا أيضا . هذا في الفرض أما في صلاة النفل فإنه يندب هذ الوضع بدون تفصيل
الحنفية قالوا : كيفيته تختلف باختلاف المصلي . فإن كان رجلا فيسن في حقه أن يضع باطن كفه اليمنى على ظاهر كف اليسرى محلقا بالخنصر والإبهام على الرسغ تحت سرته . وإن كانت امرأة فيسن لها أن تضع يديها على صدرها من غير تحليق.
الحنابلة قالوا : السنة للرجل والمرأة أن يضع باطن يده اليمنى على ظهر يده اليسرى ويجعلها تحت سرته.
الشافعية قالوا : السنة للرجل والمرأة وضع بطن كف اليد اليمنى على ظهر كف اليسرى تحت صدره وفوق سرته مما يلي جانبه الأيسر . وأما أصابع يده اليمنى بهو مخير بين أن يبسطها في عرض مفصل اليسرى وبين أن ينشرها في جهة ساعدها . كما تقدم إيضاحه في مذهبهم قريبا.
Wallahu A’lamu Bisshowab..

Hukum Sholat jenazah diarea pemakaman/diatas makam

Assalamualaikum Ustadz..
Diskripsi :
Sering kali kita temukan di masyarakat tidak semua orang dapat menshalati mayat sebelum dimakamkan. Karena kendala tertentu, seperti jarak yang terlampau jauh, mengakibatkan sebagian orang tidak menjumpai jenazah sebelum dikebumikan. Karena rumahnya dekat dengan kuburan sang mayat, sebagian orang menyempatkan diri melaksanakan shalat jenazah di kuburan sang mayat.
Pertanyaannya :
1. Bagaimana hukum shalat jenazah di atas kuburan?
2. Apa status shalat tersebut dikatagorikan shalat ghaib atau hadir?
3. Sampai kapan shalat tersebut diperbolehkan?
JAWABAN :
Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarokatuh..
Jawaban No.1:
Shalat jenazah di kuburan hukumnya diperbolehkan, baik mayat dimakamkan sebelum dishalati atau sesudahnya. Kebolehan ini berlandaskan kepada hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah di atas kubur perempuan atau laki-laki yang rajin membersihkan masjid. Demikian pula hadits riwayat An-Nasa’i dengan sanad yang shahih, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah Ummu Mahjan di kuburannya, yang telah dikebumikan di malam hari. Namun kebolehan menshalati jenazah di kuburan disyaratkan bukan jenazahnya para nabi. Maka menjadi tidak sah menshalati jenazah para nabi setelah kewafatan mereka. Ada dua alasan mengapa tidak sah. Pertama, berdasarkan hadits nabi yang melarang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid (tempat shalat). Kedua, karena saat kewafatan para nabi, kita bukan tergolong orang yang diwajibkan untuk menshalati.
Keterangan di atas sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakariyya Al-Anshari berikut ini:
و تجوز على قبر غير النبي صلى الله عليه وسلم بعد الدفن سواء أدفن قبلها أم بعدها
Artinya, “Boleh menshalati kuburnya selain nabi setelah dikebumikan baik mayat dimakamkan sebelum dishalati maupun sesudahnya.”
لأنه صلى الله عليه وسلم صلى على قبر امرأة أو رجل كان يقم المسجد وعلى قبر مسكينة يقال لها أم محجن دفنت ليلا روى الأول الشيخان والثاني النسائي بإسناد صحيح
Artinya, “Karena Nabi Muhammad Saw menshalati kuburnya perempuan atau laki-laki yang rajin menyapu masjid. Dan Nabi menshalati kuburnya perempuan miskin yang disebut-sebut bernama Ummu Mahjan, ia sudah dimakamkan di malam hari. Hadits pertama diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim. Hadits kedua diriwayatkan An-Nasa’i dengan sanad yang shahih.
” أما الصلاة على قبور الأنبياء صلى الله عليهم وسلم فلا تجوز واحتج له بخبر الصحيحين لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد وبأنا لم نكن أهلا للفرض وقت موتهم
Artinya, “Adapun menshalati kubur para nabi, maka tidak boleh. Argumennya adalah haditsnya Al-Bukhari dan Muslim bahwa Allah melaknat Kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Argumen lain, kita bukan termasuk orang yang diwajibkan menshalati saat kewafatan mereka,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 322).
Dalam pelaksanaan shalat jenazah di kuburan, disyaratkan posisi orang yang menshalati tidak berada di depan kubur. Syarat ini juga berlaku dalam persoalan menshalati jenazah yang hadir. Pensyaratan ini berdasarkan sebuah prinsip bahwa mayat dianggap seperti imam, orang yang menshalati sebagai makmum. Sehingga posisi orang yang shalat tidak boleh berada di depan mayat. Syarat ini tidak berlaku untuk shalat ghaib sehingga hukumnya sah menshalati ghaib meski posisi orang yang shalat berada di depan mayat, sebab ada hajat (kebutuhan).
Keabsahan shalat jenazah di kuburan juga disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menshalati jenazah saat kematian mayat, dengan sekira saat kematian mayat, seseorang dalam keadaan Muslim, mukallaf, dan suci dari haidh dan nifas. Maka mengecualikan non-Muslim, anak kecil, orang gila dan perempuan haidh. Orang-orang yang saat kewafatan mayat dalam kondisi tersebut, tidak sah melaksanakan shalat jenazah di kuburan.
Syekh Zainuddin Al-Malibari menegaskan:
(و) تصح على حاضر ( مدفون ) ولو بعد بلائه (غير نبي) فلا تصح على قبر نبي لخبر الشيخين) من أهل فرضها وقت موته) فلا تصح من كافر وحائض يومئذ كمن بلغ أو أفاق بعد الموت ولو قبل الغسل كما اقتضاه كلام الشيخين
Artinya, “Sah menshalati mayat hadir yang dimakamkan, meski setelah hancur. Selain mayat nabi, maka tidak menshalati kubur nabi karena hadits Al-Bukhari dan Muslim. Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat. Maka tidak sah dari non-Muslim dan perempuan haidh saat kematian mayat, sebagaimana tidak sah dilakukan orang yang baligh atau sembuh dari gila setelah kematian mayat, meski balighnya atau sembuhnya sebelum mayat dimandikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh statemen Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 133).
Mengomentari referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
قوله (من أهل فرضها وقت موته) أي تصح الصلاة على الميت الغائب وعلى الحاضر المدفون إن كان من يريد الصلاة من أهل أداء فرضها وقت الموت بأن يكون حينئذ مسلما مكلفا طاهرا لأنه يؤدي فرضا خوطب به اه تحفة
Artinya, “Ucapan Syekh Zainuddin, “Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat”, maksudnya adalah sah menshalati mayat ghaib dan mayat hadir yang telah dimakamkan, bila orang yang hendak menshalati adalah orang yang diwajibkan menshalati pada waktu kematian mayat. Dengan sekira saat kematian mayat, ia dalam keadaan Muslim, mukallaf dan suci (dari haidh dan nifas), karena ia telah menjalankan kewajiban yang dituntut kepadanya,” (Lihat Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, halaman 133).
Jawaban No. 2 :
Dikategorikan shalat hadir walaupun mayat sudah dikebumikan.
Referensi:
Syekh Zakariyya Al-Anshari menjelaskan:
فإن تقدم المصلي على الجنازة الحاضرة أو القبر لم تصح صلاته كما في تقدم المأموم على إمامه أما المتقدم على الغائبة فصلاته صحيحة للحاجة
Artinya, “Bila mushalli maju melampaui posisi jenazah yang hadir atau mayat yang di kubur, maka tidak sah shalatnya sebagaimana dalam persoalan majunya posisi makmum melampaui imamnya. Sedangkan mushalli yang posisinya lebih maju dalam shalat ghaib, maka shalatnya sah karena kebutuhan,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 317).
Jawaban No.3 :
BATASAN BOLEHNYA MENSHOLATI JENAZAH DI KUBURAN
Dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama,
tidak ada batas berapa umur jenazah yang boleh dishalati di kuburnya. Berpijak dari pendapat ini, sah menshalati jenazah para sahabat dan ulama setelahnya sampai hari ini. Pendapat ini tidak mensyaratkan orang yang menshalati harus tergolong ahlul fardli (orang yang berkewajiban) menshalati saat hari kematian jenazah.
Pendapat kedua,
dibatasi sampai tiga hari. Pendapat ini juga sesuai dengan mazhab Imam Abu Hanifah. Dengan demikian, bila umur jenazah sudah melampaui tiga hari, tidak sah untuk dishalati di kuburannya.
Pendapat ketiga,
maksimal berusia satu bulan. Pendapat ini sesuai dengan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat keempat, selama masih tersisa anggota tubuh mayat. Bila anggota tubuh mayat telah hancur, maka tidak boleh dishalati. Bila ragu-ragu masih tersisa atau telah sirna, maka dihukumi masih tersisa.
Pendapat kelima,
dikhususkan untuk orang yang berkewajiban menshalati saat kematian mayat. Berpijak dari pendapat ini, tidak ada batasan berapa lama usia jenazah yang boleh dishalati di kuburnya, asalkan dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menshalati saat kewafatan jenazah.
Pendapat kelima ini adalah yang kuat dalam mazhab Syafi’i, disahihkan oleh al-Imam al-Rafi’i dalam kitab al-Syarh al-Shagir.
Uraian di atas sebagaimana dijelaskan dalam referensi berikut ini:
وإلى متى يصلى عليه فيه أوجه أحدها أبدا فعلى هذا تجوز الصلاة على قبور الصحابة فمن بعدهم إلى اليوم قال في المجموع وقد اتفق الأصحاب على تضعيف هذا الوجه
“Sampai kapan boleh menshalati mayat di kuburnya? Terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama, selamanya. Berpijak dari ini, boleh menshalati kuburnya para sahabat dan ulama setelahnya hingga sekarang. Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata, para ashab sepakat melemahkan pendapat ini.”
ثانيها إلى ثلاثة أيام دون ما بعدها وبه قال أبو حنيفة ثالثها إلى شهر وبه قال أحمد رابعها ما بقي منه شيء في القبر فإن انمحقت أجزاؤه لم يصل عليه وإن شك في الانمحاق فالأصل البقاء
“Pendapat kedua, sampai tiga hari, bukan durasi setelahnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Pendapat ketiga, selama masih tersisa anggota tubuh mayat di dalam kubur. Bila telah hancur anggota-anggotanya, maka tidak boleh dishalati. Bila ragu-ragu, maka hukum asal dihukumi masih tersisa.”
خامسها يختص بمن كان من أهل الصلاة عليه يوم موته وصححه في الشرح الصغير فيدخل المميز على هذا دون غير المميز
“Pendapat kelima, terkhusus untuk orang yang tergolong berkewajiban menshalati mayat saat hari kematiannya. Pendapat ini disahihkan oleh Imam al-Rafi’i dalam Syarh al-Shaghir, maka memasukkan anak kecil yang sudah tamyiz, bukan anak yang belum mencapai tamyiz.” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 346).
Wallahu a’lamu bisshowab..

Cara Mencuci dengan mesin cuci

AIR YANG TERKENA NAJIS
Ketentuan yang masyhur dalam mazhab Syafi’i tentang air yang terkena najis adalah:
Jika volume air sudah sampai dua qullah (216 liter atau kubus dengan panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 60 cm) maka air tidak dihukumi najis kecuali warna air berubah (taghayyur); sedangkan jika volume air tidak sampai dua qullah maka seluruh air secara langsung menjadi najis ketika bersentuhan dengan benda yang najis. Namun menurut pendapat lain—seperti dalam mazhab Maliki misalnya—air tidak dihukumi najis kecuali dengan berubahnya warna air, baik volume air sampai dua qullah ataupun kurang dari dua qullah.
Sedangkan cara menyucikan benda yang terkena najis (mutanajjis) dengan air yang kurang dari dua qullah adalah dengan cara menghilangkan wujud najis yang ada dalam benda tersebut terlebih dahulu, lalu mengalirkan air (warid) pada benda yang terkena najis yang telah dihilangkan najisnya. Mengalirkan air pada benda yang terkena najis merupakan syarat agar suatu benda dapat menjadi suci, sebab jika air tidak dialirkan, tapi benda yang terkena najis ditaruh pada air yang kurang dari dua qullah, maka air tersebut justru akan ikut menjadi najis. Pendapat demikian merupakan pendapat mayoritas ulama Syaf’iyyah. Kewajiban mengalirkan air itu dikarenakan mengalirkan air adalah cara yang paling kuat dalam menyucikan benda yang terkena najis. Namun dalam hal ini, Imam al-Ghazali berbeda pandangan. Beliau berpendapat bahwa mengalirkan air bukanlah syarat dalam menyucikan benda yang terkena najis. Sebab, menurut beliau, tidak ada bedanya antara mengalirkan air pada benda yang terkena najis (warid) dan menaruh benda tersebut pada air (maurud). Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Suraij. Ketika ketentuan-ketentuan di atas kita terapkan dalam konteks menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, maka cara yang paling baik dan disepakati oleh para ulama adalah dengan cara menghilangkan wujud najis (‘ain an-najasah) terlebih dahulu sebelum memasukkan pakaian ke dalam mesin.
Menghilangkan najis ini bisa dengan cara menggosok-gosok pakaian agar wujud najis hilang, atau langsung dengan cara menyiram pakaian (baik itu secara manual, atau langsung dengan cara dimasukkan pada mesin cuci) ketika memang diyakini najis yang melekat akan hilang dengan siraman air tersebut. Sehingga ketika wujud najis telah hilang, maka status pakaian menjadi najis hukmiyyah (najis secara hukum, meski wujud tak terlihat) yang dapat suci cukup dengan disiram air. Berbeda halnya pada pakaian yang tidak terdapat bekas najis, atau tidak tampak warna, bau dan ciri khas lain dari najis, maka tidak perlu dilakukan hal di atas, sebab pakaian tersebut sudah dapat suci cukup dengan disiram.
ketika wujud najis sudah hilang dalam pakaian, maka pakaian sudah dapat dimasukkan dalam mesin cuci untuk disiram. Dalam hal ini, mesin cuci terdapat dua jenis. Pertama, mesin cuci otomatis, yaitu mesin cuci yang mengalirkan air dari atas dan air tersebut langsung dialirkan keluar, setelah itu dialirkan kembali air baru dan dialirkan keluar, demikian secara terus-menerus sesuai kehendak pemakai mesin cuci. Maka dalam jenis mesin cuci demikian, ulama sepakat bahwa pakaian yang dicuci dengan mesin cuci jenis ini dapat dihukumi suci. Sedangkan jenis kedua, yaitu mesin cuci biasa (‘adi). Mesin cuci jenis ini adalah yang umum terlaku dan digunakan masyarakat. Yaitu mesin cuci yang mengalirkan air ke dalam tempat penampungan pakaian, namun air tidak langsung dikeluarkan, tapi dibiarkan ke dalam tempat penampungan pakaian, yang di dalamnya bercampur pakaian suci dan najis. Setelah jeda waktu cukup lama, air tersebut dikeluarkan dan diganti dengan air baru yang juga mengalami proses yang sama dengan cara kerja air yang awal. Maka dalam mesin cuci jenis kedua ini, pakaian yang terkena najis tidak dapat dihukumi suci menurut pandangan mayoritas ulama, bahkan pakaian yang suci ikut menjadi najis, jika memang masih terdapat wujud najis pada salah satu pakaian yang ada dalam mesin cuci tersebut. Sedangkan bila mengikuti pandangan dari Al-Ghazali, Ibnu Suraij, serta pendapat mazhab Maliki di atas, maka air yang dicuci dengan mesin cuci jenis kedua (apalagi jenis pertama) dapat dihukumi suci. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Syarah al-Yaqut an-Nafis:
والغسالات نوعان: نوع يسمونه أوتوماتيكي يرد إليها الماء ثم ينصرف فيرد ماء جديد ثم يتكرر إيراد الماء عدة مرات فهذا لاخلاف فيه في طهارة الملابس. والنوع الثاني من الغسالات عادي وتلك يوضع الماء فيها وهو دون القلتين وتغسل به الملابس الطاهرة والنجسة ثم يصرفونه فيبقى شيء منه في الغسالة والثياب مبللة منه فيصبّون عليه ماء آخر فوق الباقي المتنجس ثم يكتفون بالغسلتين
“Mesin cuci terbagi menjadi dua. Pertama, mesin cuci yang otomatis, yaitu air dialirkan pada mesin cuci lalu di alirkan keluar dari mesin cuci, setelah itu dialirkan kembali air baru dan dialirkan keluar, begitu juga seterusnya. Maka dalam mesin cuci jenis demikian tidak ada perbedaan pendapat antar ulama dalam sucinya pakaian yang di cuci pada mesin cuci jenis ini. Kedua, mesin cuci biasa, yaitu air yang kurang dari dua qullah ditaruh di dalam mesin cuci, yang nantinya air tersebut digunakan untuk membasuh pakaian yang suci dan najis, lalu air tersebut dialirkan keluar, meski masih terdapat sebagian air yang menetap pada mesin cuci, sedangkan pakaian yang terdapat dalam cucian berada dalam keadaan basah, kemudian dialirkan air lain di atas sisa air yang terkena najis (di pakaian) tadi dan basuhan air dalam mesin cuci ini dicukupkan dengan dua kali basuhan oleh sebagian ulama.”
فهؤلاء يحملهم قول الذين لايشترطون ورودالماء مع القول في مذهب مالك. وهناك قول آخر نقله ابن حجر في التحفة يحملهم وإن قرر على أن الماء القليل ينجس بمجرد وقوع النجاسة فيه لكن نقل القول الآخر وهو أنه لاينجس إلا بالتغير وهو مذهب مالك وعندنا أنه ينجس بملاقته النجاسة والقول الذي يقول لاينجس الماء إلا بالتغير “
Para ulama ini mengarahkan kasus demikian pada pendapat para ulama yang tidak mensyaratkan mengalirnya air pada pakaian serta berpijak pada pendapat mazhab imam malik. Sebab dalam permasalahan membasuh benda yang terkena najis ini terdapat pendapat lain yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, meskipun Imam Ibnu Hajar menetapkan bahwa air yang sedikit (kurang dari dua qullah) akan menjadi najis dengan hanya jatuhnya najis pada air tersebut, tetapi ia menukil pendapat lain yaitu Air tidak menjadi najis kecuali dengan berubahnya (warna) air.” (Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, Hal. 98-99)
Namun patut dipahami bahwa ketentuan yang dijelaskan tentang menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, seperti yang dijelaskan di muka, adalah ketika pakaian yang dimasukkan dalam mesin cuci belum dicampuri dengan detergen. Sedangkan ketika pakaian sudah dicampuri dengan detergen sebelum dialiri air dalam mesin cuci, maka air yang bercampur dengan detergen ini tidak dapat menyucikan pakaian yang terkena najis secara mutlak, sebab air ini tergolong air yang mukhalith (bercampur dengan sesuatu lain) yang tidak dapat menyucikan benda yang terkena najis, sebab hanya air murni (ma’ al-muthlaq) yang dapat menyucikan sesuatu yang terkena najis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci biasa (‘adi) adalah hal yang dapat dilakukan menurut para ulama yang berpandangan bahwa air yang kurang dari dua qullah dapat menyucikan benda yang najis tanpa perlu dialiri air dari atas (warid). Namun dengan batasan selama pakaian dalam mesin cuci tidak terlebih dahulu dicampur dengan detergen. Barulah setelah pakaian dialiri air maka tempat penampungan pakaian dalam mesin cuci diganti air yang baru dan diberi detergen. Meski cara yang umum dilakukan masyarakat dapat dibenarkan dengan cara di atas, namun alangkah baiknya dalam rangka mengambil jalan kehati-hatian dalam mengamalkan syariat, seseorang hendaknya membasuh secara manual terlebih dahulu pada pakaian yang terkena najis dengan air murni, lalu setelah itu pakaian yang telah dibasuh dicuci dalam mesin cuci, sebab cara demikianlah yang dibenarkan oleh mayoritas ulama.
Wallahu a’lam bisshowab..

Makmum Muwaffiq dan Makmum Masbuq

Deskripsi Masalah :
Ketika shalat dilakukan secara berjamaah, kemudian ada beberapa makmum yang menemui imam dalam kondisi :
1- Imam berdiri membaca surat sebelum ruku’
2- Imam dalam kondisi ruku’.
3- Imam dalam kondisi sujud,atau tahyat
4- Imam cepat dalam bacaannya sehingga makmum tertinggal sampai tiga rukun, apa yang harus dilakukan makmum dalam kondisi tersebut diatas.
JAWABAN :
Ulama berbeda pandang dalam mendefinisikan makmum masbuq walaupun demikian akan tetapi tujuanya adalah sama yang diantaranya.
إعانة الطالبين .الجزء الثانى
المأموم المسبوق هو من لم يدرك من قيام اﻹمام قدرا يسع الفاتحة بالنسبة إلى قراءة الفاتحة المعتدلة.(قوله وهو من لم يدرك من قيام اﻹمام الخ) أى سوآء كان قيام الركعة اﻷولى أوغيرها ويتصور كونه مسبوقا فى كل ركعات لنحو زحمة أو بطء حركة
Makmum masbuq adalah makmum yang tidak mendapati berdirinya imam dalam setandartnya ukuran membaca fatihah,baik berdirinya imam dirakaat pertama ataupun dilainnya rakaat pertama.
Sebagian mendefinisikan makmum masbuq sebgai berikut:
الموسوعة الفقهية.23401
المسبوق فى اللغة إسم مفعول من السبق أصله التقدم
وفى الإصطلاح قال الجرجنى هو الذى أدرك اﻹمام بعد ركعة أوأكثر ،وعرفه الشافعية أنه هو الذى لم يدرك مع اﻹمام محل قراءة الفاتحة المعتدلة
Artinya:Masbuq secara bahasa merupakan isim maf’ul dari kata “ASSABQU yang asalnya. “AT-TAQADDAMU”(terlewati)
Sedangkan secara istilah Masbuq menurut Al-Jurjaniy adalah orang yang mendapati imam setelah satu rakaat atau lebih.Dengan kata lain Syafi’iyah mendifinisikan masbuq adalah orang yang tidak mendapati imam dalam ukuran setandartnya membaca fatihah.
Sedangkan definisi muwafiq adalah sebaliknya masbuq(yaitu orang (makmum)yang mendapati imam dalam ukuran standartnya membaca fatihah)
إعانة الطالبين الجزء الثانى .ص 35
قوله وضد الموافق اى هو الذى يدرك قدرا يسع الفاتحة بالنسبة الى قراءة الفاتحة المعتدلة
Artinya” Muwafiq adalah makmum yang mendapati berdinya imam dalam ukuran strandartnya membaca fatihah.
Adapun kriteria dari makmum muwafiq dan masbuq, dan yang harus dilakukan oleh makmum masbuq ketika mendapati imam dalam kondisi sebagaimana tersebut diatas adalah:
1- Makmum muwafiq ketika mendapati imam dalam kondisi berdiri sebelum ruku’,maka yang harus dia lakukan makmum adalah bertakbiratul ihrom dan wajib menyempurnakan membaca fatihah.
2- Ketika makmum mendapati imam dalam kondisi ruku’, maka yang harus dilakukan makmum adalah ada dua perkara:
a). Bertakbiratul-Ihrom
b). Takbir intiqol wajib mengikuti ruku’nya imam dan makmum tidak perlu membaca fatihah. Maka dalam kondisi yang sedemikian berarti makmum telah memperoleh (mendapati) satu rakaat .
3- Ketika makmum mendapati imam dalam kondisi turun ke sujud/ sujud atau tahiyyat maka yang harus dilakukan makmum masbuq adalah mengikuti imam turun kesujud, dan makmum tidak perlu ruku’ karena ruku’nya makmum tidak dihitung maka dalam kondisi yang sedemikian berarti makmum telah kehilangan rakaatnya,karena rakaat itu dihitung ketika makkmum medapati imam dalam kondisi ruku’ ,dan makmum wajib menyempurnakan rakaat yang tertinggal setelah salamnya imam,andaikan makmum terpaksa menyempurnakan fatihah tidak sujud besama imam maka shalatnya makmum tidak batal kecuali jika makmum sampai tertinggalan dua rukun maka hukum salatnya makmum itu batal.
الطالبين الجزء الثانى .ص. 33
وإن وجده فى القيام قبل أن يركع وقف معه فإن أدرك معه زمنا يسع الفاتحة فهو موافق. فيجب عليه إتمام الفاتحة ،وإن لم يدرك زمنا يسع الفاتحة فهو مسبوق يقرء ماأمكنه من الفاتحة.
إعانة الطالبين الجزء الثانى .ص.15
(و)تدرك (ركعة)لمسبوق أدرك اﻹمام راكعا بأمرين (بتكبيرة )اﻹحرام ثم أخرى لهوى…الخ.(قوله وتدرك ركعة لمسبوق) وهو من لم يدرك زمنا يسع الفاتحة مع اﻹمام(قوله راكعا)حال من اﻹمام(قوله بأمرين)متعلق بتدرك أى تدرك الركعة من الصلاة قبل أن يقيم اﻹمام صلبه فقد أدركها.(قوله بتكبيرة اﻹحرام) بدل بعض من الجار والمجرور قبله وهذه التكبيرة واجبة فى القيام أو بدله.(قوله ثم أخرى لهوى ) أى ثم تكبيرة أخرى للهوى وهذه التكبيرة مندوبة ﻷن الركوع محسوب له التكبيرة فندب له التكبير.
فإن قرءه وأدرك اﻹمام فى الركوع فقد أدرك الركعة فان يدركه فيه فاتته الركعة ولايركع ،ﻷنه لا يحسب بل يتابعه فى هويه للسجود وإﻻ بطلت صلاته(قوله لغت ركعته )أى ﻷن شرط عدم إلغائها إدراكه فى الركوع.
وبل الغمام فى أحكام المأموم المسبوق واﻹمام.. ص.31
فإن ركع اﻹمام والمأموم المسبوق فى الفاتحة فإن كان لم يشتغل بشيء غير الفاتحة قطع القراءة وركع معه وتحمل عنه بقية الفاتحة كمايتحملها إذا ركع عقب إحرامه أوو جده راكعا،فإن لم يتابعه حتى فارق اﻹمام أقل من الركوع فاتته الركعة ولاتبطل صلاته إﻻ إن تخلف حتى شرع اﻹمام فى الهوى للسجود
نهاية الزين .
وماأدركه المسبوق مع اﻹمام ممايعتد له به فهو أول صلاته ،ومايأتى به بعد سلامه آخرها ،لقوله صلى الله عليه وسلم (وماأدركتم فصلوا ومافاتكم فأتموا )وإتمام الشيء إنمايكون بعد أوله فيعيد فى الباقى القنوت والتشهد وسجود السهو.
MAKMUM KETINGGALAN BEBERAPA RUKUN (3 RUKUN YANG PANJANG) DIKARENAKAN BACAAN IMAM (KONDISINYA IMAM) CEPAT.
DAN DALAM HAL INI MAKMUM DIMA’FU’ KARENA ADANYA BANYAK UDZUR.
Adapun udzur-udzurnya makmum yang menjadikan sebab ketinggalan bersama dengan imam yaitu ada 9 :
1- Makmum yang lirih (terlambat) dalam bacaan karena memang keadaannya (yakni bukan karena sengaja atau waswas).
2- Makmum yang ragu-ragu (apa dia baca patihah atau tidak).
3- Makmum lupa pada bacaan fatihah.
4- Makmum yang mencocoki imam sementara dia menyibukkan diri dengan amalan sunnah seperti do’a iftitah maka dalam kondisi yang sedemikian imam sampai ruku’
5- Makmum yang menunggu diamnya imam sehingga imam ruku’. Yakni makmum untuk baca fatihah masih menunggu berhenti/ diamnya imam, karena imam sunnah diam setelah baca fatihah, setelah itu melanjutkan baca surah.
6- Makmum yang ketiduran dikala tasyahhud.
7- Bercampur takbirnya makmum dengan imam (tidak nyambung) akibat buta (tidak melihat) atau kondisisi petang.
8- Makmum menyempurnakan bacaan tasyahhud sementara imam sudah berdiri dari ruku’.
9- Makmum yang lupa bahwa dirinya bermakmum dan tidak ingat baru setelah imam sujud ingat bahwa dirinya bermakmum.
Menurut Imam Romliy 4 kondisi yang terakhir ini termasuk udzur sampai tiga rukun yang panjang. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar Kondisinya makmum yang terdapat pada no 6,7,dan 8 hukumnya seperti orang masbuq, yang mengakibatkan pada gugurnya fatihahnya makmum. Dan kondisi yang no.8 termasuk udzur.
CATATAN :
Bentuk dari takhalluf (tertinggalnya) makmum dengan imam dikarenakan adanya salah satu udzur dari beberapa udzur seperti lambatnya bacaan, maka sehingga tertinggal tiga rukun. Yakni: 1-ruku, 2-sujud yang pertama dan 3- sujud yang kedua.
Wallahu a’lam..
Referensi:
تكرير الشديدة. ص :300-301
*أعذار تخلف المأموم عن اﻹمام*
يعذر المأموم فى التخلف عن إمامه بثلاثة أركان طويلة(1) فى تسع حالات، فلا بد ان يركع قبل ارتفاع اﻹمام من سجوده الثانى للتشهد او للقيام (2)فإذا لم يركع فيجب عليه أن ينوى المفارقة او يتابع اﻹمام فيماهو فيه ،ويفوته الركعة ويأتى بها بعد سلام اﻹمام،فإذا لم ينو المفارقة ولم يتابعه بطلت صلاته،وهذه الحالات مجموعة فى قول بعضهم .
إن شئت صبطا للذى شرفا عذر# حتى له ثلاث أركان اغتفر
من فى قراءة لعجزه بطئ # او شك (هل قرأ ..؟) ومن لها نسي
وضف موافقا لسنة عدل# ومن لسكتة انتظاره حصل
من نام فى تشهد أو اختلط# عليه تكبير اﻹمام ماانضبط
كذا الذى يكمل التشهدا # بعد إمام قام عنه قاصدا
والخلف فى أواخر المسائل# محقق فلا تكن بذاهل
شرح اﻷبيات أى :يعذر المأموم فى التخلف عن اﻹمام بثلاثة أركان طويلة فى تسع حالات وهى:
1) – من فى قراءة لعجزه بطئ.أى إذا كان المأموم بطئ القراءة لعجز خلقي.
2) – أو شك ” هل قرأ: أى إذا شك : هل قرأ الفاتحة أم لا..؟
3) – ومن لها نسي :أى إذا نسي قراءة الفاتحة .
4) -وضف موافقا لسنة عدل :أى إذا كان موافقا لﻹمام واشتغل بسنة كدعاء اﻹفتتاح فركع اﻹمام .
5) -ومن لسكتة انتظاره حصل :أى إذا انتظر سكتة اﻹمام ليقرأ سورة الفاتحة،فركع اﻹمام ولم يتمكن المأموم من قراءة الفاتحة كلها او بعضها.
ففى هذه الحالات الخمسة التقدمة يعذر فيها المأموم الى ثلاثة أركان طويلة باﻹتفاق،وهى أربع حالات:
6) – من نام فى تشهد :أى إذا نام المأموم فى التشهد اﻷول .
7) – او اختلط عليه تكبير اﻹمام ماانضبط: أى إذا اختلط عليه تكبيرة اﻹحرام :كأعمى أو كان فى ظلمة .
8) – كذا الذى يكمل التشهدا بعد امام قام عنه قاصدا: إذا جلس فى التشهد يكمل بعد أن قام اﻹمام عنه.
9) – من نسي القدوة ولم يتذكر إلا واﻹمام ساجد.
وهذه الحالات اﻷربع اﻷخير يعذر فيها عند الرملى إلى ثلاثة أركان طويلة.وأما عند ابن حجر فحكم الحالة رقم 6 ،7, 8.كحكم المسبوق، فتسقط عنه الفاتحة.وأماالحالة رقم 8 فلايعذر.
(1)-صوتها:بتأخير المأموم لعذر من اﻷعذار، كبطئ القراءة فيعذر لثلاثة أركان طويلة،وهى الركوع والسجود اﻷول والسجود الثانى
(2)-وهو الركن الرابع.
Dalam keterang yang lain dijelaskan bahwa bacaan surat Fatihah di dalam shalat hukumnya wajib dan termasuk rukun shalat, berarti bagi yang tidak membaca surat Fatihah ketika shalat maka dipastikan shalatnya tidak sah.
Namun bagi makmum yang lambat dalam bacaannya maka mendapat kemudahan dengan tetap dihukumi sah shalatnya baik makmum muwafiq maupun makmum masbuq. Kalau makmum tidak sempat menyempurnakan membaca Fatihah, maka imam yang mananggung kekurangan bacaan makmum tersebut.
Dalam kondisi bacaan fatihah imam cepat maka makmum tetap harus mengikuti gerakan imam, artinya makmum tidak perlu menyelesaikan bacaan Fatihahnya kemudian menyusul imamnya, bahkan ketika imamnya ruku’ maka makmum juga mengikutinya ruku’ meskipun dia belum selesai dari bacaan Fatihahnya, karena dalam kondisi demikian imam menanggung sisa bacaan yang tidak sempat dia lanjutkan, dan shalat jamaahnya tetap dihukumi sah.
إعانة الطالبين الجزء الثانى .ص34
إعلم أن حاصل مسئلة المسبوق إنه إذا ركع اﻹمام وهو فى الفاتحة فإن لم يكن إشتغل بإفتتاح أو تعوذ وجب عليه أن يركع معه فإن ركع معه أدرك الركعة وإن فاته ركوع اﻹمام فاتته الركعة ولاتبطل صلاته إﻻإذا تخلف بركنين من غير عذر ،وأماإذااشتغل بإفتتاح أوتعوذ فيجب عليه إذا ركع اﻹمام أن يتخلف ويقرأ بقدر ما فوته فإن خالف وركع معه عمدا بطلت صلاته وإن لم يركع معه بل تخلف فإن أتى بما يجب عليه وأدرك اﻹمام فى الركوع أدرك الركعة فإن رفع اﻹمام من الركوع قبل ركوعه فاتته الركعة فإن هوى اﻹمام للسجود وكمل مافوته وافقه فيه وإلا فارقه وجوبا.
إعانة الطالبين.الجزء الثانى .ص 33
وإن وجده فيما بعد الركوع وافقه فيماهو فيه وتدارك بعد السلام اﻹمام مافاته .
نهاية الزين
وماأدركه المسبوق مع اﻹمام ممايعتد له به فهو أول صلاته، ومايأتى به بعد سلامه آخرها ،لقوله صلى الله عليه وسلم ( وماأدركتم فصلوا ومافاتكم فأتموا) وإتمام الشيء إنمايكون بعد أوله فيعيد فى الباقى القنوت والتشهد وسجود السهو.
I’anah ath Thaalibiin juz 2 hal. 40
واعلم) أن الأعذار التي توجب التخلف كثيرة: منها أن يكون المأموم بطئ القراءة لعجز خلقي لا لوسوسة، والإمام معتدلها، وأن يعلم أو يشك قبل ركوعه وبعد ركوع إمامه أنه ترك الفاتحة، وأن يكون المأموم لم يقرأها منتظرا
سكتة إمامه عقبها فركع الإمام عقب قراءته الفاتحة، وأن يكون المأموم موافقا واشتغل بسنه كدعاء الافتتاح والتعوذ، وأن يطول السجدة الأخيرة عمدا أو سهوا، وأن يتخلف لإكمال التشهد الأول أو يكون قد نام فيه متمكنا، وأن يشك هل هو مسبوق أو موافق؟ فيعطى حكم الموافق المعذور ويتخلف لقراءة الفاتحة، وأن يكون نسي أنه في الصلاة ولم يتذكر إلا والإمام راكع أو قريب منه، أو يكون سمع تكبيرة الإمام بعد الركعة الثانية فظنها تكبيرة التشهد فإذا هي تكبيرة قيام فجلس وتشهد، ثم قام فرأى الإمام راكعا .
وقد ذكر الشارح بعضها.
ومما ينسب للشيخ العزيزي: إن رمت ضبطا للذي شرعا عذر حتى له ثلاث أركان غفر: من في قراءة لعجزه بطئ أو شك إن قرا ومن لها نسي وصف موافقا لسنة عدل ومن لسكتة انتظاره حصل من نام في تشهد أو اختلط عليه تكبير الإمام ما انضبط كذا الذي يكمل التشهدا بعد إمام قام منه قاصدا والخلف في أواخر المسائل محقق فلا تكن بغافل وقوله: والخلف في أواخر المسائل، وهي ثلاثة: من نام في تشهده الأول ممكنا مقعده بمقره فما انتبه من نومه إلا وإمامه راكع، ومن سمع تكبير إمامه للقيام فظنه لجلوس التشهد فجلس له وكبر إمامه للركوع فظنه للقيام من التشهد الأول ثم على أنه للركوع.
ففي هاتين المسألتين جرى الخلاف بين العلامتين ابن حجر، والشمس الرملي، فقال الأول: هو مسبوق، فيلزمه أن يقرأ من الفاتحة ما تمكن منها.
وقال الثاني: هو موافق، يغتفر له ثلاثة أركان طويلة.
والمسألة الثالثة: من مكث بعد قيام إمامه لإكمال التشهد الأول، فلا انتصب وجد إمامه راكعا أو قارب أن يركع.
فقال الرملي: هو موافق، يغتفر له ما مر من الأركان.
وقال حجر: هو كالموافق المتخلف لغير عذر، فإن أتم فاتحته قبل هوى
سجدته إلا والإمام راكع أو قارب أن يركع، فقال الرملي: هو كموافق..
والله أعلم بالصواب

Kewajiban Qodlo sholat dalam perjalanan / sholat lihurmatil wakti

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh. Deskripsi Masalah : Pada suatu ketika saya dari surabaya berangkat jam 19:00 dan sampai ke J...